“Cin, kamu kok gak seperti Rina ya? Cengeng.”
“Cuma
dapat nilai segini? Dasar bodoh!”
“Contohin
tu, anak teman mama. Pintar, rajin kamu apa yang bisa mama banggakan!”
Ayah
dan Bunda terkadang kalimat-kalimat di atas sering terucap secara spontan dari
kita sebagai orang tua, baik itu secara sadar maupun pada saat emosi. Hal ini
tentu saja tidak baik bagi perkembangan psikis anak.
Berdasarkan
data dari Valentina Ginting Asdep Perlindungan Anak (KPPPA) sebanyak 3.296
perempuan dan 1.319 anak laki-laki menjadi korban kekerasan selama 1 Januari –
24 Juli 2020. Bahkan 58,80 % kekerasan terhadap perempuan dan anak itu terjadi
di dalam rumah tangga dan anggota keluarga itu sendiri yang menjadi pelaku
kekerasan tertinggi setelah teman sebaya. Itu baru yang terdata, bagaimana
dengan yang tidak terdata pasti jumlahnya sangat banyak.
Stop bullying. No one deserves to feel worthless. — Rebecca Black
Bisa
dibayangkan betapa rentannya anak terhadap perundungan/bullying baik itu di rumahnya sendiri maupun di lingkungan sekitar.
Sering terjadi kekerasan verbal yang menurut orang dewasa adalah wajar, tapi
tidak menurut anak itu sendiri. Seperti contoh ketika seseorang bertamu ke
rumah kerabatnya dan bertemu dengan anggota keluarganya. Kebetulan kerabat yang
dikunjungi memiliki dua orang anak yang berbeda warna kulit atau bentuk wajah.
Sering sekali secara tidak sengaja ucapan seperti:
“Loh
kok yang satu putih yang satunya hitam?” Atau
“Cantikan adiknya ya daripada kakaknya!”
Saya yakin kalimat di atas sangat sering sekali kita jumpai dalam masyarakat. Termasuk kita sendiri, tanpa sengaja melontarkan kalimat tersebut. Walaupun setelah mengucapkannya kita sadar dan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menyampaikan:
“Tapi…, kakaknya manis loh!”
Hal itu tidak bisa mengembalikan keceriaan mereka, karena kata-kata yang telah terucap tidak bisa dibalikkan lagi masih tetap terngiang di telinga mereka.
Perundungan/ bullying ini ibarat orang menancapkan paku, walaupun telah dicabut tapi masih meninggalkan bekas.
Belum lagi bullying
yang sering terjadi di sekolah, di lingkungan sekitar rumah sesama teman
bermain apakah itu ledekan fisik seperti gemuk yang sering dipelesetin giant atau goblok, oon dan yang paling
sering adalah memanggil nama teman dengan sebutan nama orang tua. Ini bukan
lelucon ini kekerasan verbal yang harus kita lawan. Jangan sampai bullying seperti itu terus terjadi
secara turun temurun.
Ayo! Kita lawan kekerasan gender mulai dari kita sendiri dan mulai saat ini dengan cara :
- Stop perundungan terhadap keluarga sendiri terutama anak-anak kita. Kita hargai mereka sebagaimana kita menghargai orang dewasa. Ketika mereka dihargai maka rasa simpati, empati dan percaya dirinya akan tumbuh.
- Beri edukasi dan pengertian kepada mereka agar selalu menghargai orang lain. Jangan melakukan perundungan terhadap siapapun. Hal tersebut merupakan prilaku yang buruk, bisa mengakibatkan depresi bagi orang yang dibuli.
- Buat suasana di rumah menyenangkan, bangun komunikasi yang baik sehingga apabila terjadi konflik bisa di atasi dengan kepala dingin.
12 Komentar
Terimakasih Bu Rita
BalasHapusEdukasi sejak dini akan mengurangi tingkat bulliing baik pelaku dan korban.
Sama" Pak Indra mari kita kampanyekan stop perundungan/bullying
HapusAda namakuh.. He.. Ciip bu rita trmksh tipsnya
BalasHapusIya bu Rina, td pengen aja pke nama Rina 🤗
HapusMantul Bunda Rita
BalasHapusTerimakasih bu Sri Wati
HapusBetul sekali, sering sekali kata2 yg diucapkan spontan tanpa bertujuan meledek ternyata membekas di hati anak atau murid kita, astagfirullaaah...
BalasHapusIya bu remind buat kita
HapusSaya tipe ibu yg sulit menahan emosi bu😅😅😆
BalasHapusBanyak bersabar dan belajar untuk menjadi ibu yg baik.
HapusJika kita mendengar anak" bully memanggil teman dgn sebutan nama orang tua ataw pekerjaan orang tua harus kita tegur. Untuk menghindari pemicu pertengkaran
BalasHapusThat,s right
Hapus