The Meaningfull True Stories

 

Kata Pengantar

Cinta, Doa, dan Kebajikan untuk Kebahagiaan Hidup

Dr. Ngainun Naim



 

Kita semua ingin hidup bahagia. Tidak ada orang yang tidak ingin hidupnya bahagia. Jika kita mau merenungkan tentang kehidupan kita sehari-hari, semua yang kita lakukan itu bermuara pada upaya untuk mewujudkan bahagia.

 

Bahagia itu tujuan semua orang hidup di dunia. Ini sudah menjadi kesepakatan universal. Tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika tidak percaya, tanyalah setiap orang, bacalah aneka buku, dan konsultasilah pada semua ahli.

 

Untuk apa kita bekerja keras setiap hari? Kita bangun pagi-pagi, sibuk dengan urusan domestik rumah tangga kita, lalu bekerja sampai sore, dan di rumah pun kita tidak menganggur. Ada saja yang bisa kita lakukan, mulai mendidik anak sampai kegiatan sosial kemasyarakatan. Mungkin kita jarang merenungkannya. Sekali-kali mari kita berikan kesempatan untuk merenungkannya. Banyak sekali manfaat yang bisa kita peroleh dari kegiatan merenungkan perjalanan kehidupan ini.

 

Uang yang kita cari, harta yang kita kumpulkan, relasi sosial yang kita bangun, dan semua hal yang kita lakukan bertujuan untuk mewujudkan hidup bahagia. Persoalannya, mewujudkan bahagia itu ternyata tidak mudah. Justru tidak jarang kita terjebak pada ketidakbahagiaan.

Dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, tidak jarang kita dilanda keresahan. Bisa jadi kita resah karena persoalan keluarga, persoalan di tempat kerja, atau di berbagai bidang kehidupan yang lain. Menurut analisis para ahli, sangat mungkin keresahan itu sesungguhnya persoalan biasa saja. Persoalan yang sebenarnya tidak besar tetapi begitu menyita perhatian, energi, dan waktu produktif kita.

 

Akibatnya, kita menjadi stress. Padahal jika dicermati secara jernih ternyata penyebabnya kita sendiri. Kata Arvan Pradiansyah (2012, 34), mengurusi hal-hal kecil bisa membuat kita kehilangan perspektif kita terhadap hal-hal yang besar. Cara mendapatkan pencerahan adalah melihat sesuatu yang sama dengan cara pandang yang berbeda.

 

Keresahan muncul karena ada persoalan. Besar kecilnya persoalan tergantung pada sudut pandang. Bisa jadi sesungguhnya persoalan itu biasa atau bahkan kecil, namun karena memikirkan dengan seluruh energi maka persoalan itu berkembang menjadi besar. Bias juga persoalan itu sesungguhnya besar namun karena dihadapi dengan tenang, dipikirkan solusinya secara hati-hati, dan pasrah kepada Allah untuk membantu penyelesaiannya maka persoalan itu menjadi persoalan biasa. Seiring waktu persoalan itu pun akhirnya hilang.

 

Adanya persoalan seharusnya kita syukuri, bukan kita hindari. Ahmad Rifa’i Rif’an (2013) mengajak kita untuk mengambil hikmah atas masalah yang kita hadapi. Ia menyarankan untuk melakukan sesuatu yang terlihat bertolak belakang, yaitu berbahagia.

Ini terlihat janggal. Jika memiliki uang, harta, dan berbagai sarana bahagia lainnya lalu kita berbahagia itu wajar. Ini justru ajakan berbahagia saat kita memiliki masalah. Bagaimana penjelasannya?

 

Menurut penulis muda produktif tersebut, setiap masalah itu ada banyak hikmahnya. Tugas kita adalah mengambil pelajaran atas masalah yang sedang kita hadapi. Jika tidak ada masalah sangat mungkin kita tidak melakukan refleksi diri. Kita tidak melakukan upaya pembelajaran sehingga kekayaan jiwa kita tidak bertambah. Rifa’i menulis, “Ada hikmah di balik segala musibah. Ada kebijaksanaan hidup yang bisa dipetik dari segala masalah”.

 

Jadi kuncinya adalah sudut pandang. Perspektif yang ditawarkan oleh Ahmad Rifa’i Rif’an tersebut menunjukkan bahwa sudut pandang positif akan menghadirkan sesuatu yang positif juga. Mengeluh tidak akan mengubah keadaan, alih-alih justru akan menambah beratnya persoalan. Perspektif positif ini menunjukkan bahwa segala sesuatu itu berkaitan dengan Allah. Segala hal yang terjadi pada kita merupakan kehendak Allah.

 

Muara dari semua itu adalah hidup bahagia. Menurut ajaran Islam, kunci utama bahagia adalah spiritual. Uang, materi, kemasyhuran, aset, dan segala hal yang bersifat materi itu memang penting dan bisa memberikan kebahagiaan tetapi sifatnya sementara. Tidak terlalu lama. Sebentar saja kebahagiaan itu hilang dan kita menginginkan aspek yang kita miliki dalam jumlah yang lebih. Begitu seterusnya.

 

Ketika memiliki uang satu juta kita merasa bahagia. Seiring waktu kebahagiaan itu memudar dan kita menginginkan uang dalam jumlah yang lebih. Saat kita mendapatkan uag sepuluh juta, kita bahagia. Tetapi tidak lama. Kita pun menginginkan jumlah yang lebih. Begitu seterusnya.

 

Jika dituruti, hidup justru tidak bahagia. Hidup kita justru dikendalikan oleh nafsu dan keinginan material yang tidak ada habisnya. Ibaratnya minum air laut yang tidak membuat kita puas. Justru dahaga semakin menjadi-jadi.

 

Nah, dalam kondisi inilah aspek spiritual menjadi kunci penting yang harus mendapatkan perhatian. Kita harus meningkatkan spiritualitas kita dari waktu ke waktu. Kita harus banyak belajar ilmu agama dan mempraktikkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Ada pendapat menarik dari Sukidi (2004: 112-124) yang menyebutkan bahwa ada tiga kunci nilai spiritual yang bisa dioperasionalkan untuk meraih hidup bahagia. Pertama, cinta. Cinta itu didefinisikan Sukidi sebagai perasaan yang lebih menekankan kepekaan emosi dan sekaligus menjadi energi kehidupan. Namun bukan sekadar cinta sebagaimana yang umumnya kita ketahui yang membuat kita bahagia. Sebab cinta itu ada yang positif, ada juga yang negatif.

 

Sukidi membagi cinta menjadi tujuh tingkatan, yaitu cinta terhadap diri sendiri, cinta rakyat, cinta pada situasi dan kondisi, cinta pada sesuatu, cinta pada binatang, cinta pada penciptaan, dan cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah inilah yang menjadi kunci kebahagiaan yang sejati.

Kedua, doa. Doa itu penerapannya sangat luas. Segala jenis ibadah yang kita lakukan secara substansial adalah doa. Ibadah yang kita lakukan sesungguhnya merupakan bentuk komunikasi spiritual kita ke hadirat Allah. Manfaat terbesar ibadah adalah menguatkan ikatan cinta antara kita dengan Allah. Ibadah (doa) adalah bukti bahwa kita selalu bersama Allah.

 

Sebagai seorang hamba, kita harus terus beribadah. Memang manusia itu sifatnya labil. Jarang sekali ada orang yang mampu stabil dalam beribadah. Bisa dicermati pada pengalaman kita masing-masing. Ada saat kita bersemangat beribadah, ada juga saat kita tidak bersemangat. Masing-masing keadaan memiliki pengaruh pada munculnya kebahagiaan pada diri kita.

 

Ketiga, kebajikan. Melakukan kebajikan—apa pun bentuknya—semakin melengkapi kita untuk merasakan bahagia. Hidup dengan cinta dan ibadah yang dilakukan secara konsisten akan membuat kita senantiasa melakukan kebajikan. Jika ini mampu kita lakukan maka kita merasakan hidup yang bahagia. Mengutip pendapat Baltasar Gracián, Sukidi menulis bahwasanya kebajikan itu merupakan mata rantai kesempurnaan. Kebajikan merupakan pusat semua kebahagiaan. Kebajikan membuat kita bijaksana, hati-hati, cerdas, peka, arif, jujur, dan bahagia.

 

Hidup ini indah. Mari kita isi dengan cinta, doa, dan kebajikan. Inilah jalan kebahagiaan. Jika kebahagiaan adalah tujuan hidup kita maka mengisi ketiga nilai dalam kehidupan kita itu menjadi kebutuhan yang mendasar. Salam.

 

Tulungagung, 28 Agustus 2020

 

Dr. Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung Jawa Timur. Aktif dalam kegiatan literasi. Menulis beberapa buku, di antaranya Spirit Literasi, Literasi dari Brunei Darussalam, The Power of Writing, Teraju: Strategi Membaca dan Mengikat Makna, dan Proses Kreatif Penulisan Akademik. Untuk komunikasi bisa menghubungi nomor: 081311124546

 

 

Daftar Bacaan

 

Ahmad Rifa’i Rif’an, Man Shabara Zhafira, Success in Life with Persistence, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013.

Arvan Pradiansyah, Life is Beautiful, Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012.

Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasa Spiritual: Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ dan EQ, Jakarta: Gramedia, 2004.

 

Posting Komentar

1 Komentar