Kuta, Trans Studio Bali dan Desa Penglipuran |
Hari
Sabtu tanggal 6 Maret tahun 2021 kami sekeluarga memutuskan untuk berlibur.
Setelah setahun pandemi, inilah liburan kami untuk kedua kalinya.
Aktivitas
keseharian yang kini banyak dilakukan di rumah sesekali memicu kejenuhan yang
bertubi-tubi. Setelah sekian lama planing untuk berlibur tertunda.
Berangkat
pagi pukul 09 pagi dari rumah dari Jembrana menuju Legian Kuta Kab.Badung.
Pukul 11.30 kami memutuskan untuk istirahat makan siang di warung makan Banyuwangi.
Harga seporsi
nasi dengan lauk dibandrol seharga Rp.15.000,-. Tentu saja tergantung pilihan
menu yang dipilih. Sedangkan untuk minum es teh dan teh anget Rp.5.000,-.
Sekitar
30 menit kami berada di warung makan yang kebetulan saat itu hujan turun sangat
deras.
Pukul
12.00 kami melanjutkan perjalanan. Tak dinyana AC mobil tidak menyala dan
mampir sejenak ke service mobil yang berada di sekitar Denpasar.
Selesai
service kami memutuskan untuk salat dan melanjutkan perjalanan langsung menuju
ke Pantai Kuta. Saat sampai di Legian alangkah kagetnya kami suasana sangat
sepi.
Padahal
saat itu pukul 15.00 Wita hari Sabtu. Biasanya ketika kami ke Pantai Kuta
jalanan sangat penuh sesak, kendaraan sangat sulit bergerak apalagi jika mau parkir sangat sulit mencari
tempat parkir karena padatnya kendaraan dan para turis yang berlalu lalang.
Tapi
tidak seperti saat kami tiba, suasana sangat sepi dan hening. Jangankan turis,
penduduk setempat pun hampir tidak terlihat. Restauran, café-café, hotel-hotel
sekitar legian banyak yang tutup.
Sebagian
besar restaurant dengan konsep dinding terbuka meja, kursi ditutupi dengan kain
berwarna putih yang menandakan café/ restauran benar-benar tutup.
Awalnya
saya sudah ragu untuk mencari penginapan di sekitar Legian karena sangat sepi.
Tapi suami ingin merasakan penginapan di sini mumpung lagi diskon katanya
akhirnya kami memutuskan untuk menginap di Legian Village Hotel dengan membayar
Rp.150.000,- yang biasanya di atas Rp.500.000.
Setelah
salat Magrib kami keluar menuju ke Trans Studio Bali. Luar biasanya pandemi
membuat suasana malam minggu di sekitar legian benar-benar menjadi kota mati.
Setiba
di Trans Studio Bali pun tidak terlalu banyak pengunjung. Hanya restauran
masakan asing yang lumayan agak ramai selebihnya sepi. Wahana pun ditutup
karena untuk mengurangi interaksi selama masa pandemi.
Pukul
20.30 Wita kami pun segera meninggalkan Trans Studio Bali karena masih masa PKM
sehingga mall tutup lebih cepat. Ketika kami keluar ada sebagian orang yang
baru tiba sudah mulai dicegat oleh satpam untuk diberi pemahaman tentang PKM.
Kami
pun berputar-putar sekekiling Kota Denpasar sekaligus menapak tilas. Suasana
malam minggu yang benar-benar jauh berbeda dengan sebelum pandemi.
Akhirnya
kami pun memutuskan untuk makan malam di Soto Jakarta yang menjadi langganan
kami ketika tinggal di Denpasar 10 tahun lalu.
“Ibu,
pesan soto 2 ya!”
“Dibungkus
atau makan di sini mbak?”
“Makan
di sini Bu.”
“Kalau
makan di sini, nggak bisa lama-lama ya Bu, PKM.”
Ketika
itu sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA.
“Nggih
Bu.”
Kami
pun makan secepatnya, kurang dari 15 menit kami selesai makan dan segera
meninggalkan warung tersebut.
“Maaf
nggih Bu, jadi buru-buru, ini juga sudah mulai di tegur.” Ucap si ibu ketika
kami pamit.
***
Keesokan pagi kami jalan santai menuju
Pantai Kuta. Seperti biasa kami hanya melihat sepanjang jalan restauran dan
hotel yang tutup dan sepi. Tiba di pantai tidak terlihat bule yang berjemur
ataupun berenang hanya beberapa bule terlihat sedang duduk dengan
membawa bianatang peliharaannya sekadar refreshing sepertinya bule yang sudah menetap di sana.
Terlihat
wisatawan domestik ataupun penduduk
sekitar yang sedang menikmati berjalan santai di tepi pantai dan beberapa
relawan yang sedang memungut sampah.
Selesai
menikmati susana Pantai Kuta kami kembali ke hotel untuk berberes dan menuju ke
objek wisata Desa Penglipuran yang berada di Kabupaten Bangli.
Selama
2 jam perjalanan dari Kuta akhirnya kami sampai di Desa Penglipuran. Untuk biaya tiket masuk sebesar Rp.25.000,-
Lagi
dan lagi tidak terlalu banyak pengunjung yang datang. Bahkan sebagian besar
yang berkunjung adalah wisatawan lokal yang menetap di Bali.
Pandemi
membuat terpuruknya objek wisata dan perekonomian rakyat. Jika suatu daerah
hanya mengandalkan objek wisata maka benar-benar luar biasa dampak yang
dirasakan.
16 Komentar
Asiknya piknik
BalasHapusrefreshing di masa pandemi bunda
Hapusjadi kangen pengen ke bali lagi
BalasHapuslet's go to Bali Omjay
HapusLebih menikmati suasana asli seperti puluhan tahun lalu ya maklum saya ke pantai Kuta 30 tahun yang lalu. Lebih sering liat di tayangan TV
BalasHapusWow sudah lama banget ya Bund
HapusIkut sedih bacanya, Bu.
BalasHapusTerbayang sepinya gimana :(
Biasanya tiap tahun saya mudik lebaran dan libur sekolah ke rumah mertua di Situbondo, landingnya di Bali untuk staycation ala-ala dulu.
Tahun kemarin sama sekali nggak kemana-mana, tahun ini juga masih ragu buat mudik kuatir terpapar di perjalanan. Semoga pandemi segera berakhir...
semoga segera berakhir
HapusOh, PKM di sana benar2 dipatuhi ya? Bagus sekali. Di daerah kami hanya sekolah yg sepi. Pasar tetap ramai. Tempat wisata pun ga ada sepinya😁
BalasHapuskebetulan Kuta langganan paraa Bule' jadinya setelah pandemi benar-benar sepi
HapusIkut merasakan, Bu. Di Lombok juga tidak jauh beda. Dahsyat banget dampaknya.
BalasHapusWow saya pengen main ke lombok nih semoga terwujud
HapusSemoga Pandemi cepat berlalu dan aktivitas kembali normal
BalasHapusAaamiin YRA
HapusAyo berkunjung lagi mba ritaa, tapi kabari yaa kita jumpaaa
BalasHapusInsyaAllah ya, lupa punya teman di Denpasar
Hapus