“Gadis kalau aku
bagaimana?” Celetuk Jeni murid kelas 11 yang tidak begitu akrab dengan Gadis.
“Aku, juga gimana
Gadis?” Sahut Dinda dengan pertanyaan sama. Gadis kebingungan ada dua orang
yang berbeda jurusan tiba-tiba bertanya kepadanya.
“Ayo dong Gadis,
kalau aku orangnya gimana? Katanya kamu bisa membaca sifat orang,“ Jeni
merengek setengah memaksa.
Gadis benar-benar
kebingungan, mengapa dua orang yang berbeda jurusan datang menghampirinya dan
meminta komentarnya.
“Kalian tahu aku
bisa membaca sifat orang dari mana?” Cecar Gadis pada teman-temannya.
“Dari teman sekelas
mu dong, Dina yang memberitahu kami.”
Memang 2 hari yang
lalu Gadis sempat mengobrol dengan teman sekelasnya. Di dalam kelas ada tiga
kelompok dari teman-teman Gadis. Ada kelompok Modis, Gaul, ada kelompok yang
hobinya hanya belajar dan membaca yaitu kumpulan anak-anak pintar dan ada
kelompok yang biasa aja yang cenderung underestimate.
Di antara ketiga
tipe karakter temannya Gadis bisa membaur di semua kelompok. Senin siang di
saat jam istirahat Gadis menyempatkan diri untuk bergabung dengan kelompok Modis.
“Hai Gadis,” sapa Novi.
Gadis tersenyum mereka sangat asyik mengobrol.
Biasa obrolan mereka cenderung ke cowok-cowok ganteng di Jurusan Akuntansi dan
Pariwisata. Memang 2 jurusan itu banyak cowok gantengnya. Berbeda dengan
jurusan mereka jurusan sekretaris di kelasnya mayoritas cewek semua. Kebetulan
hanya 2 orang saja yang cowok. Itu pun kalau istirahat sering menghilang
berbaur dengan jurusan lain.
“Hai, Nov,” balas
Gadis.
“Tumben, gabung sama
kita?”
“Nggak, cuma pengen
aja ikut nimbrung.”
Entah ide dari mana
Gadis tiba-tiba menyampaikan sesuatu kepada Novi.
“Nov, sepertinya
kamu lagi memikirkan sesuatu ya?” Tanya Gadis penuh selidik.
“Kok tahu…? Emangnya
aku lagi mikir apa Dis?”
“Kamu, mikirin hasil
ulangan tadi ya?”
“Ah... nggak ah,
biasa aja lagi.”
“Iya, aku tahu, kamu
memikirkan hasil ulangan tadi kelihatan kok dari wajahmu. Kamu sepertinya
kurang terima dengan nilai ujian mu, karena sebenarnya kamu sudah belajar maksimal tapi hasilnya
tidak seperti yang di harapkan.” Gadis memberi penjelasan pada Novi.
“Ehm iya juga sih,
kok kamu tahu sih?”
“Iya tahu, udah lama
kan kamu mikirnya? Kamu merasa mengapa nilaimu nggak bisa maximal padahal di
rumah udah belajar giat banget. Target mu untuk masuk 10 besar aja pupus.”
“Iih, kamu kok tahu
sih Dis.” Gadis tersenyum, sebelumnya Gadis memang pernah ngobrol sama Novi
jika di waktu SMP Novi selalu menjadi bintang
kelas. Dari situ Gadis paham jika orang yang terbiasa menjadi juara kelas
tiba-tiba nilainya terjun bebas di jenjang berikutnya, mereka pasti berpikir
mengapa ia tidak bisa seperti yang dulu padahal ia sudah belajar keras.
Sontak Sinta, Dina,
Mela, Desi, Yuni, Isti memberi tantangan kepada Gadis.
“Kalau aku gimana,
Dis?” Sahut Dina.
“Kalau kamu itu,
sebenarnya gak pedean loh Din cuma kamu menutupi ketidakpedeanmu dengan bergaul
kepada siapa aja. Terlihat di luar kamu sangat percaya diri padahal hatimu
mengatakan tidak.”
“Bener loh” Teriak
Diana.
Lanjut Sinta dan
seterusnya semua yang di sampaikan Gadis dibenarkan oleh mereka semua. Sejak
saat itu Gadis sering menerima tantangan dari teman-temannya untuk menyebutkan
apa yang sedang ada di dalam pikiran mereka.
Gadis tersenyum
sebenarnya apa yang Gadis sampaikan adalah karena ia sering memperhatikan
temannya, bukan bisa meramal. Tapi teman-temannya mengira jika Gadis bisa
meramal.
“Dis, gimana kalau
aku? Orangnya gimana?” Desak Jeni
“Aku, gak tahu Jen.”
“Wah... kamu bohong,
teman-teman sudah pada ngomong kalau
kamu bisa meramal.”
Gadis didesak terus oleh Jeni.
“Bukannya kalian
sendiri yang lebih tahu diri kalian atau kalian tanya saudara dan orang tua
kalian sendiri.”
“Kami kan maunya
kamu, karena kami ingin tahu benar nggak yang diomongan Dina tentang kamu, ayo dong sedikit aja keburu masuk
nih.” Rengek Jeni.
Gadis berpikir
sesaat dan melihat Jeni. Hampir semua orang di sapa Jeni jika bertemu, entah
kenal atau tidak tapi ia selalu say hallo
kepada siapa saja.
“Kamu itu orangnya
luwes banget Jen mudah berteman, tapi tidak semua teman yang bisa akrab
denganmu. Untuk sekedar berteman okay,
tapi untuk akrab kamu pikir-pikir dulu.” Gadis nyerocos memberikan penjelasan
tentang sifat Jeni.
“Wah, benar-benar…
kamu benar Gadis, hebat seniorku ini memang
hebat.” Jeni selalu menganggap senior sama Gadis karena mereka satu kursus
hanya berbeda level.
Dinda pun akhirnya
mendesak Gadis.
“Kalau aku gimana,
Dis?” Dinda ikut penasaran.
“Udah, ya aku bukan
peramal.”
“Iih, kamu gitu ya,
sama aku.” Terlihat Dinda kecewa.
Gadis pun melihat
Dinda sebentar dan terpaksa mengeluarkan sepatah kata agar mereka segera pergi
dari hadapannya.
“Kamu orangnya mudah
terpesona, mudah jatuh cinta, tapi sayang semuanya bertepuk sebelah tangan.” Entah
dapat bisikan darimana
Gadis berusaha melegakan hati Dinda yang penasaran.
“Asli, benar… memang
benar-benar peramal.” Dinda tertawa lepas.
Gadis berlalu.
Sejak
saat itu ada saja yang datang ke Gadis, mereka berkonsultasi apa yang harus
mereka lakukan. Gadis kebingungan sejatinya dia hanya memperhatikan karakter
mereka saja dan kebetulan semua benar.
Suatu
hari Gadis mengobrol dengan Lusi. Anaknya tomboy, cuek, sering sekali terlambat
dan tidak masuk sekolah. Gadis pun mencari tahu mengapa Lusi sering terlambat.
Ternyata Lusi sering membantu orang tuanya untuk menjaga toko kelontongnya
hingga larut malam. Memang teman-teman Gadis ada beberapa yang menyambi kerja
ketika pulang sekolah.
“Lus, tasnya bagus
baru beli ya?” Gadis membuka pembicaraan.
“Enggak, tas ini kancingnya rusak, pasti nggak akan laku di jual, dari pada
kebuang aku yang pakai.”
“Oh…, Lus kamu tahu
nggak, sewaktu kamu nggak masuk kemarin. Bu Wati bercerita tentang kamu.
Katanya kamu tuh anaknya pintar,
nilai mu selalu bagus jika ujian, tapi
sayangnya sering tidak masuk sekolah dan sering terlambat, sehingga guru-guru awalnya
mau memberi nilai bagus di rapormu, jadi batal.”
“Bu Wati, ngomong
gitu Dis?” Tanya Lusi dengan rasa penasaran.
“Iya... makanya Lus,
kalau bisa jangan malas masuk ya dan datangnya lebih pagi biar gak telat
terus.”
Lusi tersenyum. Terlihat
raut berbahagia seolah ingin berjanji pada dirinya sendiri agar tidak telat dan
lebih rajin lagi masuk sekolah.
Benar
saja keesokan hari Lusi datang lebih awal tidak terlambat begitu juga di
hari-hari berikutnya hingga seterusnya Lusi tidak pernah izin dan datang
terlambat lagi. Hasilnya pun sangat memuaskan Lusi memperoleh 5 besar pada
semester itu.
“Lus, selamat ya…
tuh kan benar, kamu itu pintar cuma kemarin-kemarin kamu terlalu banyak izin
dan sering telat. Sekarang hasilnya rapormu bagus kan?” Kata Gadis sambil
tersenyum.
“Makasih ya Dis”
Lusi tersenyum.
Gadis pun berlalu
dari Lusi. Sebenarnya Gadis telah berbohong kepada Lusi. Ibu Wati tidak pernah
mengatakan apa yang diceritakan Gadis kepada Lusi.
0 Komentar