Ember Tek Zaenab

 



Bertindak dalam kepanikan akibatnya fatal
-Rita Wati-

A

wan menghitam, tepat pukul 21.40 kapal Umsini dari Tanjung Priok telah tiba bersender di Pelabuhan Kijang. Alhamdulillah Tiara telah tiba di kampung halamannya. Tiara di sambut oleh ibu dan keluarga besarnya.

Setiba di rumah Tiara langsung beristirahat. Tanpa terasa azan subuh berkumandang. Setelah salat Subuh, Tiara ingin mencuci pakaian. Semua baju kotor sudah di sisihkan. Ia menuju ke kamar mandi. Mencuci manual dengan menggunakan tangan adalah hal yang biasa ia lakukan.

            Ketika masuk ke kamar mandi ia melihat ember berwarna biru. Seketika ia teringat dengan Tek Zaenab. Ember itu miliknya sudah 12 tahun masih awet. Kenangan peninggalan Tek Zaenab yang ada di rumahnya.

            Terbayang di mata Tiara ketika Tek Zaenab baru tiba di rumahnya. Ketika itu ada seorang ibu dengan membawa 3 orang anak laki-laki. Umur 12 tahun,   8 tahun dan si kecil yang masih Balita umur 2 tahun.

            Tiara kebingungan, saat itu Tek Zaenab membawa 1 koper dan beberapa kardus yang berisi pakaian sambil menangis saat tiba di rumah Tiara.

            Ambo, indak sanggui Ni, dibue macam ko,” (Aku tidak sanggup kak dibuat seperti ini)

            “Masuaklah, tanangkan pikiran dulu, baru tibo,” (Masuklah, tenangkan pikiran dulu,  baru tiba) ucap ibu Tiara kepada Tek Zaenab.

            Saat itu Tiara baru saja duduk di kelas 5 SD.

            Tiara tidak terlalu memperhatikan obrolan ibu, ayah dan Tek Zaenab yang pasti sejak kedatangannya saat itu Tek Zaenab menumpang tempat tinggal di rumah Tiara.

***

            Datang seorang pria, wajahnya banyak berlubang penuh dengan bekas jerawat tiba di rumah Tiara.

“Assalamualaikum,” ucapnya memberi salam saat hendak masuk.

“Walaikumsalam,” sahut ibu Tiara.

Belum sempat dipersilakan duduk. Tek Zaenab menyolot menghardik si pria.

“Manggata, anak bini indak diuruih, sibuk bacewek jo jando,” (Menggatal, anak dan istri tidak diurus sibuk pacaran sama janda).

“Bao batanang, usah ribuit, banyak anak kete’,” (Tenang, jangan ribut banyak anak-anak). Ucap ibu Tiara kepada Tek Zaenab dengan suaminya.

Saat itu Tiara disuruh ibunya untuk pergi bermain, agar tidak mendengar percakapan orang dewasa.

***

         Sudah  sebulan Tek Zaenab menumpang di rumah. Sudah sangat lama. Ibu juga sudah mulai kebingungan, karena memerlukan sembako yang lebih. Terlebih lagi anak Tek Zaenab yang telah menikah datang bersama suami dan satu orang anaknya menyusul ibunya.

            Rumah Tiara semakin ramai kedatangan keluarga dari Tek Zaenab. Memang semua itu arahan dari Ayah, untuk membantu keluarga Tek Zaenab yang baru tiba dari kampung.

          Tiara teringat suasana saat itu bagaimana di rumah Tiara banyak orang, sehingga ruang tamu Tiara selalu penuh dan digunakan juga untuk tidur keluarga Tek Zaenab.

         Suatu ketika ada peristiwa yang tak terlupakan oleh Tiara. Tek Zaenab yang memiliki anak berumur 2 tahun yang bernama Romi. 

    Saat itu Tek Zaenab sedang ke pasar, Romi dititipkan dengan kakaknya yang mempunyai satu anak. Romi kehausan dan terus menangis. Tek Zaenab tidak pernah menyediakan susu botol untuk anaknya. Sehingga karena tidak henti-henti menangis si Romi di susui oleh kakaknya.

      Peristiwa itu terkenang oleh Tiara. Di lain waktu saat malam ketika sedang menonton TV. Romi si bungsu Tek Zaenab sedang muntah, makanan yang ia makan keluar membentuk gumpalan. Tek zaenab sedang mencari kain lap, akan tetapi Tedi anak ketiga Tek Zaenab memakan muntahan dari adiknya.

            “Ei, kenapa makan itu muntahan adikmu,” teriak Tek Zaenab sambil memukul lengan Tedi.

            “Tedy, gak tau,”

            Itulah yang diingat Tiara pada Tek Zaenab dimana pada akhirnya Tek Zaenab mengekos tidak jauh dari rumah Tiara. Yang terkenang pada saat itu bagi Tiara ada tamu dirumahnya yang membawa anak dan menantunya, membuat suasana rumahnya selalu ramai.

***

          Tanpa terasa cucian Tiara telah selesai, setelah menjemur Tiara memanggil ibunya.

            “Mak, ini...ember Tek Zaenab ya?”

            “Iyo, tingga kanangan barangnyo, ughangnyo, alah indak ado.” (iya, tinggal kenangan barangnya, orangnya sudah tidak ada) ucap ibunya.

            “Nggak, ada gimana Mak,” ucap Tiara sambil menatap tajam ke ibunya menunggu jawaban.

            Alah maningga....” (Udah meninggal).

            Innalillahiwainnailaihi rajiun, kapan Mak,” ucap Tiara.

            Tiara baru tahu kabar temtang meninggalnya Tek Zaenab.

        Alah duo tahun maningganyo. Inyo karajo di Malaysia, ilegal indak ado surek paspor, visa. Alah 3 tahun di Malaysia, manumpang jo urang. 

    Alhamdulillah lumayan gajinyo. Taruih inyo mau pulang, andak mancaliak anaknyo. Sawaktu di kapa ado pamariksaan dari polisi sinan, karano indak punyo sure’ takui di tangko, maloncek nyo ka lawui, indak biso baranang.”

            “Sudah dua tahun meningalnya. Dia kerja di Malaysia, ilegal tidak punya paspor, visa. Sudah 3 tahun di Malaysia, menumpang dengan orang sambil kerja.         

        Alhamdulillah lumayan gajinya. Terus dia mau pulang, mau melihat anak-anaknya. Sewaktu di kapal ada pemeriksaan dari polisi sana, karena tidak punya surat takut ketangkap, dia meloncat ke laut, tidak bisa berenang.”

            Mendengar cerita dari sang ibu membuat Tiara tertegun terbayang peristiwa belasan tahun silam saat ia pertama kali bertemu dengan Tek Zaenab. 

    Betapa beratnya perjuangan seorang ibu yang ingin mempertahankan rumah tangga yang mana berakhir di meja hijau. Ketika merantau berjuang membesarkan anak-anaknya, takdir berkata lain. Tiara berdoa semoga almarhumah diterima di sisi Allah SWT.  


Jembrana 6 Februari 2021

Naskah Lomba hari ke-6

NPA:22010300468

 

 

 

                                                                                                                                   

Posting Komentar

28 Komentar

  1. Luar biasa, selalu ada nilai-nilai yg bisa diambil hikmahnya dari setiap peristiwa.

    BalasHapus
  2. Cerita yang sangat luar biasa. Saya hanyut dalam alurnya.

    BalasHapus
  3. Lanjutkan kisah yg bagus ini. Pinyer nulisnya. Sdh sekelas andrea hirata dan ahmad fuadi hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah Om Aaamiin, walaupun masih jauh api dari panggang :)

      Hapus
  4. Tulisan yang menarik dan syarat makna... Kapan bisa nulis seperti ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih ibu, bisa mulai saat ini juga bu silakan tuangkan idenya untuk menulis kisah inspirasi

      Hapus
  5. Cerpennya bagus, mengalir. Membaca sambil membayangkan suasana. Belajar bahasa baru juga.

    BalasHapus
  6. Bunda, trimks share tulisan yg keren... Demi keluarga apapun dilakukan oleh seorang ibu. Walaupun hrs berusan dg polisi mantap

    BalasHapus
  7. Masya Allah, inspiratif caritonyo Bundo. Balinang aik mato mambaconyo.

    BalasHapus
  8. Bagus Bu ceritanya...ikut saat membacanya..

    BalasHapus
  9. Indak kusangko kakak, ceritanyo matab betul. Sanga menariak.

    BalasHapus
  10. Masya alloh keren tulisannya bu Rita, semoga lebih menginsfirasi lagi kisah kisahnya, tulisannya sudah sekelas dgn para penulis senior

    BalasHapus
  11. Bismillah...smoga bisa ngikutin jejak ibu Rita,,, branikan diri publikasikan goren pena🤭😇😇😇

    BalasHapus